Fakta di Balik Krisis Sampah Plastik: Apakah Larangan Kantong Plastik Efektif?

Irwin Andriyanto

Krisis sampah plastik di Indonesia bukan sekadar isu lingkungan, tetapi juga masalah sosial dan ekonomi yang semakin mendesak. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) di berbagai daerah tahun 2024, Indonesia menghasilkan sekitar 12 juta ton sampah plastik setiap tahun, dengan lebih dari 3,2 juta ton mengalir ke laut. Angka ini menjadikan Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik laut terbesar kedua di dunia.

Sampah plastik tidak hanya mengotori laut dan pantai, tetapi juga merusak ekosistem pesisir. Penelitian dari LIPI mencatat bahwa mikroplastik telah ditemukan dalam ikan konsumsi dan bahkan dalam air minum kemasan. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat membahayakan kesehatan masyarakat sekaligus mengancam sektor perikanan nasional.

Peningkatan konsumsi plastik berasal dari perilaku penggunaan sekali pakai yang masih tinggi di sektor rumah tangga dan industri. Kantong plastik, botol minum, serta kemasan makanan menjadi penyumbang utama. Dinas Lingkungan Hidup di daerah terus berupaya memperkuat program pengelolaan sampah, namun kapasitas daur ulang nasional yang baru mencapai sekitar 12% masih jauh dari cukup.

Upaya Pemerintah Mengatasi Sampah Plastik

tumpukan sampah plastik di pantai Indonesia dengan petugas Dinas Lingkungan Hidup sedang melakukan pembersihan
tumpukan sampah plastik di pantai Indonesia dengan petugas Dinas Lingkungan Hidup sedang melakukan pembersihan

Untuk menekan laju pencemaran, pemerintah menerapkan kebijakan larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai. Kebijakan ini diujicobakan pertama kali di kota besar seperti Bali, DKI Jakarta, dan Banjarmasin sebelum meluas ke daerah lain. Tujuannya sederhana: menekan konsumsi plastik di sumbernya.

Peraturan Menteri LHK No. 75 Tahun 2019 menjadi dasar peta jalan pengurangan sampah plastik nasional. Targetnya, Indonesia mampu mengurangi 30% timbunan sampah plastik hingga 2029. Dalam pelaksanaannya, Dinas Lingkungan Hidup di setiap daerah menjadi ujung tombak pengawasan terhadap produsen dan ritel agar beralih ke kemasan ramah lingkungan.

Namun, penerapan kebijakan ini menghadapi sejumlah kendala. Pertama, belum semua pelaku usaha memiliki alternatif bahan pengganti yang ekonomis. Kedua, kesadaran masyarakat masih rendah, terutama di pasar tradisional. Ketiga, mekanisme pengawasan masih terbatas. Meski begitu, langkah ini dianggap penting sebagai fondasi perubahan perilaku konsumen terhadap plastik.

Efektivitas Larangan Kantong Plastik: Fakta dan Temuan Lapangan

Larangan kantong plastik menjadi sorotan karena dampaknya berbeda di tiap wilayah. Berdasarkan penelitian LIPI (2023), kebijakan ini menurunkan penggunaan kantong plastik hingga 40% di area perkotaan, terutama di ritel modern. Namun, di pasar tradisional, angka ini hanya turun sekitar 10%.

Kota Banjarmasin menjadi contoh sukses. Setelah melarang kantong plastik sejak 2019, volume sampah plastik di TPA menurun hingga 25%. Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta melaporkan penurunan sebesar 28% selama dua tahun pertama kebijakan berlaku.

Sayangnya, muncul fenomena baru: konsumen beralih ke kantong plastik tebal atau tas spunbond yang tidak ramah lingkungan jika hanya digunakan sekali. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah larangan benar-benar efektif dalam mengubah perilaku atau justru mengganti bentuk polusi plastik semata?

Dampak terhadap Perilaku Konsumen

Perubahan perilaku menjadi tantangan utama. Meski sebagian masyarakat mulai membawa tas belanja sendiri, banyak yang masih membeli kantong plastik di kasir. Riset Katadata Insight Center (2024) menemukan bahwa 37% konsumen masih belum siap beralih ke bahan alternatif. Faktor utama penghambatnya adalah harga dan ketersediaan bahan pengganti.

Dinas Lingkungan Hidup di beberapa daerah kini mengintensifkan edukasi publik agar konsumen lebih sadar pentingnya pengurangan plastik. Kampanye seperti “Bawa Tasmu Sendiri” menjadi contoh gerakan yang didukung oleh komunitas lokal.

Dampak terhadap Pelaku Usaha dan Industri

Ritel besar seperti Alfamart dan Indomaret menerapkan kebijakan tas berbayar untuk mendorong perubahan kebiasaan konsumen. Namun, bagi pelaku UMKM, kebijakan ini masih dirasa berat. Mereka kesulitan mencari bahan alternatif yang murah dan mudah diperoleh.

Dari sisi industri, Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (INAPLAS) mencatat penurunan produksi plastik hingga 15% sejak kebijakan diberlakukan. Sebagian produsen mulai beralih ke bahan biodegradable dan oxo-degradable, meski harganya masih tinggi.

Solusi Berkelanjutan di Luar Larangan Kantong Plastik

Larangan kantong plastik hanyalah satu dari sekian banyak solusi. Untuk menciptakan perubahan berkelanjutan, Indonesia perlu memperkuat ekonomi sirkular yang memungkinkan plastik digunakan kembali tanpa mencemari lingkungan.

Startup lokal seperti Ecovative Indonesia dan Mycotech telah mengembangkan kemasan berbasis jamur (mycelium) yang mudah terurai. Selain itu, Rekosistem dan Waste4Change memperkenalkan sistem pengumpulan sampah berbasis aplikasi yang melibatkan masyarakat dalam proses daur ulang.

Selain inovasi dari sektor swasta, edukasi publik juga memiliki peran penting dalam mempercepat transisi menuju masyarakat tanpa plastik.

Edukasi dan Keterlibatan Masyarakat

Komunitas seperti Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik dan Dinas Lingkungan Hidup daerah berperan besar dalam mengubah perilaku masyarakat. Mereka rutin melakukan kampanye dan riset tentang dampak plastik terhadap ekosistem dan kesehatan manusia. Beberapa sekolah bahkan telah menerapkan program “Sekolah Hijau” dengan sistem zero waste.

Peran Industri dan Kebijakan Baru

Pemerintah kini sedang memperkuat kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR). Kebijakan ini mewajibkan produsen bertanggung jawab atas kemasan produk hingga tahap daur ulang. Industri besar seperti Unilever dan Danone-Aqua telah menerapkan konsep refill station untuk mengurangi kemasan sekali pakai.

Selain itu, Dinas Lingkungan Hidup provinsi dan kabupaten bekerja sama dengan perusahaan lokal untuk membangun fasilitas daur ulang (sumber: dlhponorogo.id). Program ini diharapkan dapat meningkatkan penyerapan sampah plastik pasca-konsumsi hingga 50% pada 2030.

Menuju Indonesia Bebas Sampah Plastik 2040

Krisis sampah plastik di Indonesia memerlukan solusi menyeluruh dan sinergi lintas sektor. Larangan kantong plastik efektif menurunkan sebagian konsumsi, namun tidak cukup untuk mengatasi akar masalah. Diperlukan pendekatan holistik yang mencakup edukasi, inovasi, dan pengawasan.

Dinas Lingkungan Hidup berperan penting dalam mengoordinasikan kebijakan, memperkuat edukasi publik, serta memastikan keberlanjutan pengelolaan sampah di tingkat daerah. Dengan dukungan industri, masyarakat, dan pemerintah pusat, target Indonesia Bebas Sampah Plastik 2040 bukan hal yang mustahil.

Perubahan gaya hidup menuju konsumsi yang bertanggung jawab adalah kunci utama. Saat masyarakat mulai sadar bahwa setiap plastik yang dibuang berdampak pada masa depan bumi, maka kebijakan apapun akan lebih mudah diimplementasikan.

Irwin Andriyanto

Blogger Personal di Masirwin.com dan SEO Consultant SEOXpert.id yang senang menulis seputar digital marketing, bisnis, gadget, dan teknologi. Lulusan Teknik Informatika (Universitas Serang Raya) dan Magister Manajemen Pemasaran (Universitas Esa Unggul), Saya mencoba menjelaskan hal kompleks dengan cara yang sederhana dan relevan.

Related Post

Tinggalkan komentar